Bagi banyak gamer, menyelesaikan sebuah game adalah momen puncak yang ditunggu-tunggu. Tapi apa jadinya jika akhir dari game tersebut justru membuat emosi meledak? Beberapa judul game terkenal ternyata dikenal bukan karena happy ending, melainkan karena alur cerita yang berujung mengejutkan—bahkan mengecewakan.
Sebut saja game seperti “The Last of Us Part II”, di mana konflik emosional antar karakter justru membuat banyak pemain merasa dilema antara empati dan rasa kesal. Jalan cerita yang berani membalikkan ekspektasi memang diakui sebagai langkah berani, tapi tak sedikit yang merasa kecewa dengan keputusan naratif tersebut.
Lain lagi dengan “Inside”, game yang tampil dengan visual minimalis namun menyimpan kejutan besar di akhir. Alih-alih menyelesaikan konflik atau memberi penjelasan yang memuaskan, game ini justru meninggalkan banyak tanda tanya yang membuat pemain bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang baru saja saya mainkan?”
Ada juga game seperti “Far Cry 5”, yang sepanjang permainan membawa pemain pada perjuangan melawan kekuatan jahat, hanya untuk disuguhi akhir yang menggugurkan semua usaha tersebut. Banyak yang menganggap ending ini anti-klimaks, bahkan terasa seperti pengkhianatan terhadap kerja keras pemain selama berjam-jam.
Meski bikin jengkel, game-game dengan ending mengejutkan seperti ini justru memperkuat daya ingat pemain terhadap ceritanya. Ketika emosi terlibat begitu dalam, maka permainan itu telah berhasil meninggalkan kesan yang mendalam—meskipun dalam bentuk amarah.
Akhir cerita dalam game memang tak selalu memuaskan, tapi justru di situlah letak daya tariknya. Ending yang tak terduga mampu mengundang diskusi, teori penggemar, hingga debat panjang di komunitas game. Bukankah itu yang membuat pengalaman bermain jadi tak terlupakan?
Tinggalkan Balasan